Status Lahan Petani Tidak Jelas, Program Sawit Pemerintah Terancam
Kejelasan status kepemilikan lahan perkebunan sawit yang pemerintah klaim di kawasan hutan menjadi penting bagi petani. Jika kebun petani yang terjebak di dalam kawasan hutan tidak dibantu, maka akan berdampak kepada program strategis pemerintah.
“Apabila kebun petani belum clear legalitasnya, maka rantai pasok sawit bakalan terganggu. Dengan asumsi 2,78 juta hektar kebun petani masuk kawasan hutan. Ini artinya, jumlah pasokan setara minyak sawit sekitar 8 juta ton setiap tahunnya. Jumlah ini sangat besar dan berpengaruh ke pasar global,” kata Ketua Umum DPP APKASINDO, Ir. Gulat ME Manurung dalam jumpa pers secara virtual di Jakarta, Senin (1/3).
Gulat mengatakan, APKASINDO mengapresiasi penyelesaian lahan petani sawit dalam kawasan hutan dengan mekanisme penguasaan 5 tahun dan luas lahan maksimal 5 Ha yang diberikan kepada orang per orang bukan per Kepala Keluarga, serta terhadap pengakuan atas bukti-bukti kepemilikan lahan yang dimiliki petani tersebut.
Mekanisme ini diharapkan dapat menyelamatkan banyak petani sawit binaan APKASINDO, yang terjebak di dalam Kawasan hutan yang akan mengikuti program yaitu Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Akibatnya pengajuan mereka ditolak untuk mengikuti program tersebut, padahal berkas petani sudah lengkap dan sesuai persyaratan teknis Ditjen Perkebunan.
“Saat ini mereka terkejut dengan status lahan yang dinyatakan dalam kawasan hutan, padahal kenyataannya di daerah mereka sudah menjadi pusat ekonomi dengan roda pemerintahan desa dan lengkap dengan segala fasilitas umum dan sosialnya,” tuturnya.
Seperti diketahui, pemerintah telah menerbitkan regulasi di sektor kehutanan sebagai turunan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebagai produk turunan UU Cipta Kerja, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Namun dalam PP tersebut masih ada beberapa hal yang memberatkan petani. Bahkan ada pasal-pasal yang dipaksakan, khususnya petani yang masih terjebak dalam kawasan hutan. Diperkirakan luas lahannya mencapai 2,78 juta ha.
Jika pemerintah masih memaksakan, Gulat menegaskan, akan sangat berpotensi terhadap kegiatan dan program pemerintah. Pertama, mengganggu capaian PSR sebagai Program Strategis Nasional. Kedua, petani yang terjebak dalam kawasan hutan dipastikan tidak akan bisa mewujudkan ISPO sebagimana tertuang dalam Inpres RAN Kelapa Sawit.
Ketiga, berpotensi terganggunya Program Kemandirian Energi Nasional (bio energi melalui EBT). Keempat, munculnya pengangguran baru karena matinya aktivitas perkebunan sawit rakyat khususnya yang terjebak dalam Kawasan hutan. Kelima, urbanisasi penduduk dari desa-desa perkebunan sawit ke perkotaan untuk mencari pekerjaan mempertahankan hidup.
Keenam, munculnya kegaduhan, kerawanan sosial dan ekonomi. Ketujuh, munculnya kebakaran lahan karena akan semak karena tidak dirawat pemilik sebelumnya.
Rino Afrino, Sekjen DPP APKASINDO menjelaskan ada upaya penyelesaian status kebun sawit petani di dalam kawasan hutan sesuai tipologi dan karakteristik kondisi kebun petani. Langkah ini diambil supaya progra strategis pemerintah seperti PSR tidak terganggu.
“Kami ucapkan terima kasih kepada Menko Perekonomian, Menko Maritim, Menteri LHK, Menteri Pertanian, Menteri ATR/BPN, dan juga Jenderal Moeldoko selaku Ketua Dewan Pembina APKASINDO yang mendengarkan masukan APKASINDO sebelum regulasi turunan disahkan,” ucapnya.
Sumber : Tabloidsinartani.com