Solusi Petani di Kawasan Hutan untuk ISPO, Apkasindo: Relative Sustainable
Kewajiban sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) bagi petani akan berjalan dalam 46 bulan mendatang. Kalangan petani merasa khawatir bisa tertinggal dan tidak dapat mengikuti proses sertifikasi.
Terlebih bagi petani yang kebunnya diklaim masuk kawasan hutan, sekalipun sudah ada UUCK dan turunannya. Persoalan ini diungkapkan Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Dr Cn Ir. Gulat ME Manurung, MP.,C.APO, dalam Dialog Webinar Menuju Perkebunan Indonesia Berkelanjutan pada Kamis (22/4/2021) yang dihadiri Menko Perekonomian RI, Airlangga Hartarto.
“APKASINDO sangat mendukung sertifikasi ISPO, kami hanya ingin memastikan ‘temboknya’ tidak terlampau tinggi, biar bisa dilompat Petani. Justru kami ingin menjadi jembatan antara pemerintah dengan keterbatasan petani menggapai ISPO,” kata Gulat.
Memang untuk mencapai syarat ISPO, tidak mudah bagi petani. Lihat saja data per akhir tahun 2020, korporasi saja masih 45 persenan, dan petani baru 0,21 persen, padahal ISPO sudah dimulai sejak 9 tahun lalu.
“Saya memperkirakan sampai tahun 2025 (akhir tahun masa pra kondisi Wajib ISPO bagi Pekebun), capaian ISPO Pekebun paling maksimum 7,58 % (522.000 Ha), ini sudah termasuk asumsi capaian Target PSR 500.000 ha,” ujar Gulat yang juga Auditor ISPO Angkatan XVIII ini.
Adapun tantangan ke depannya yaitu legalitas kebun, terutama yang berada di kawasan hutan, STDB dan pencatatan kegiatan agronomis. Dari kajian APKASINDO mengenai persoalan sawit rakyat telah terjadi perubahan masalah sebelum dan sesudah 2008.
Pada 2008, masalah utama petani adalah ketersediaan bibit, pemupukan, tata niaga TBS, panen dan pasca panen, terakhir regulasi pemerintah. Namun, masalah yang dihadapi petani berubah setelah 2008. Persoalan pertama adalah regulasi berkaitan lahan seperti kawasan hutan, tata niaga TBS, STDB dan infrastruktur.
“Sebagai contoh tata niaga TBS mengenai harga buah. Di lapangan, ada selisih harga yang diterima petani sekira 400-500 rupiah per kilogram dari harga yang ditetapkan oleh Dinas Perkebunan setempat, selisih ini makin besar di Indonesia Bagian Timur bisa mencapai selisih Rp.1.000/kg TBS. Bagaimana mau sustain jika harga TBS pekebun saja selalu diobok-obok, ujarnya.
Gulat menjelaskan petani peserta PSR (peremajaan sawit rakyat) akan sangat mudah memenuhi syarat ISPO. Karena semua persyaratan ISPO ada di persyaratan PSR.
“Sesungguhnya yang PSR ini paling siap di-ISPO kan. Tinggal pindah kamar saja,” seperti diibaratkan kandidat doktor lingkungan ini.
Ia meminta supaya pemerintah juga memperhatikan petani (non-PSR) yang kesulitan ikut sertifikasi ISPO, roh permasalahan ISPO di kelompok Petani Non-PSR. Jumlahnya cukup besar mencapai 6,35 juta hektare.
“Petani kategori inilah yang tak bisa mencapai ISPO karena terganjal persyaratan khusus masalah legalitas, histori agronomi dan STDB. Saya tidak habis pikir, mengapa Dinas Perkebunan susah betul menerbitkan. STDB bagi pekebun, tidak ada hubungannya STDB dengan kawasan hutan, kami sudah mencari diregulasi mana pasal yang melarang, tidak ditemukan, STDB hanya surat keterangan melakukan budidaya sawit, data ini hanya untuk statistik perkebunan sawit,” katanya.
Menurut Gulat, kesiapan petani dalam mematuhi mandat Perpres No. 44 tahun 2020 yang mewajibkan sertifikasi ISPO sulit untuk diterapkan jika kita tidak hijrah cara memandang pekebun.
“Pada 2025, atau dalam 46 bulan mendatang, semua pekebun harus sudah mulai mengajukan ISPO, terhitung sejak terbitnya Perpres ISPO Tahun 2020, dimana diberi tenggang 5 tahun untuk prakondisi pekebun,”tuturnya.
Mungkinkah ISPO ini dapat digapai Pekebun? Berhenti atau lanjut?
“Jika pelayanan dari pemerintah dalam hal ini Kementerian KLHK, ATR/BPN dan Kementerian Pertanian kepada Pekebun dalam mengatasi persoalannya seperti saat ini, maka dapat saya pastikan hanya 7,58% (522.000 ha) pekebun yang selamat, sisanya 6,35 juta ha akan merana dan bangkrut karena gagal di ISPO kan. Sekaliber UU Omnibus Law juga akan lewat jika melihat niat dari kementerian terkait dalam menyelesaikan persoalan ini. Ya memang diakui UU Omnibus Law sudah ramping, tapi coba lihat di PP nya, kembali mekar bahkan lebih mekar dari sebelumnya, kita lihat saja nanti di Permen LHK dan Permen Kementan sebagai penjabaran dari PP UUCK (omnibus law), kalau malah makin beranakpinak, maka tamatlah riwayat Pekebun yang 6,35 juta ha tadi. Presiden harus potong kompas, Presiden harus mengkomandoi mengatasi persoalan ini, terlampau beresiko jika dibiarkan,” paparnya.
Gulat menerangkan, Apkasindo sebagai asosiasi petani berupaya untuk mendorong percepatan sertifikasi ISPO bagi petani kelapa sawit di antaranya melalui menyekolahkan pengurus Apkasindo kursus Auditor ISPO, memetakan tipologi permasalahan petani, mengadakan pertemuan virtual, FGD, dan sosialisasi di medsos, usulan ke pemerintah untuk membantu petani terkait administrasi (STDB dan legalitas), serta upaya advokasi.
“APKASINDO telah MoU dengan lembaga surveyor terbaik di dunia, yaitu Mutu Internasional, kami konsisten untuk itu. Target kami, semua petani PSR yang didampingi APKASINDO harus ISPO. Sudah terbukti tiga KUD/Poktan yang sudah berhasil di ISPO kan, termasuk yang ditanam Pak Jokowi 2018, ini semua full pendampingan Apkasindo dan pembiayaannya kami surati BPDPKS, Apkasindo hanya mendampingi melengkapi dokumen yang dibutuhkan, tentu dengan bahasa-bahasa yang mudah dimengerti Pekebun,” ujarnya.
BPDPKS dinilai berjasa salam hal ini, khususnya pada Program PSR, SDM, ISPO dan Biodisel. Gulat mengingatkan petani harus dibantu untuk menuju konsep sustainable, tidak ada pilihan lain, harus digendong rame-rame.
“Semua negara di dunia ini, keberpihakan Pemerintah terhadap Petani nya adalah mutlak, Petani nya di proteksi, dijagain, bukan dikerjain”, ujar Gulat yang juga Ketua Bravo 5 Riau.
Jika langkah ini tidak dilakukan, akan berdampak signifikan kepada program strategis pemerintah seperti INPRES Nomor 6/2019 mengenai RAN-KSB, diplomasi dan kampanye positif sawit, mandatori Biodisesel, dan target PSR 2,4 juta Ha (2017-2032), serta Program strategis nasional Energi Baru Terbarukan (EBT).
Khusus Program kemandirian Energi bisa dipastikan gagal, karena 6,35 juta ha kebun sawit non-ISPO akan dengan sendirinya phase out dari rantai pasok TBS, yang volumenya mencapai 22,88 juta ton CPO/tahun. Bisa dibayangkan jika CPO sebanyak ini hilang dari produksi CPO Nasional, bisa-bisa harga CPO 4 kali lipat dari harga minyak bumi, bagaimana mungkin bisa terlaksana kemandirian energi baru terbarukan?
Untuk antisipasi ini maka Apkasindo menawarkan Model Sutainable Palm Oil, yaitu Absolute Sustainable dan Relative Sustanable. Untuk korporasi yaitu Absolute Sustainable, sedangkan khusus untuk Pekebun, menggunakan Relative Sustainable yang dibagi dalam 4 tipologi.
Adapun tipologi pertama yaitu Platinum Sustainable, ini bagi Pekebun yang memang sangat lengkap dokumennya seperti Pekebun peserta PSR. Tipologi Kedua adalah Gold Sustainable, yaitu Pekebun yang sudah layak ISPO, hanya ada satu atau dua dokumen yang kurang.
Tipologi Ketiga adalah Silver Sustainable, yaitu Pekebun yang memiliki kekuranglengkapan 2-3 dokumen namun secara prinsip sudah layak ISPO, seperti misalnya belum ada STDB, histori agronomis tidak tercatat dengan baik, kan semua kekurangan dokumen ini bisa menyusul.
Dan Tipologi yang ke empat adalah Iron Sustainable, tipologi Pekebun ini memang yang tidak mungkin tertolong, serba salah, tidak satupun ada kelengkapan dokumenya, yang seperti ini terpaksa di stop aktivitas budidayanya atau cukup 1 daur.
“Filosopinya adalah tipologi ketiga perlahan-lahan di upgrade ke kelompok dua dan tipologi kedua secara pasti perlahan di upgrade ke tipologi pertama. Kalau pola ini diterapkan, saya pastikan 5 tahun kedepan paling tidak 75% Pekebun sudah memegang sertifikat ISPO, apakah itu tipologi pertama, kedua atau ketiga, yang penting niat pemerintah sungguh-sungguh menolong pekebun untuk sustainable smallholder,” pungkasnya.
Sumber : sariagri.id