Posts

Petani Sawit Temukan 5 Masalah di RPP Ciptaker Kehutanan

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) UU Cipta Kerja Bidang Kehutanan yang telah dibahas pemerintah mengandung banyak masalah.

Hasil analisis yang dilakukan timnya ada lima masalah mendasar yang harus menjadi perhatian karena berpotensi menganaktirikan dan merugikan petani sawit rakyat di berbagai daerah.

Pertama, berkaitan dengan sanksi administratif. Pasalnya, dalam rpp yang sedang dibahas itu sanksi hanya dibuat untuk menyelesaikan persoalan klaim perkebunan sawit rakyat dalam kawasan hutan yang sudah melalui proses penetapan.

Sementara kebun yang ada dalam kawasan hutan dan masih dalam tahap penunjukan, penataan batas dan pemetaan, sanksi belum diatur.

Tak hanya itu, rpp tersebut juga hanya memberikan jangka waktu selama 3 tahun untuk menyelesaikan persoalan kebun dalam kawasan hutan yang sudah dalam tahap penetapan.

“Padahal kawasan yang ditetapkan masih sangat sedikit, sehingga jika harus menunggu proses pengukuhan kawasan hutan selesai, waktu 3 tahun tersebut akan terlampaui dan petani sawit akan terjebak selamanya dalam klaim kawasan hutan,” tutur Gulat ucapnya dalam diskusi virtual Selasa (12/1).

Karena itu Apkasindo mengusulkan kebun yang diklaim dalam kawasan hutan tetapi dalam tahap penunjukan, penataan batas atau pemetaan dikeluarkan dari klaim kawasan hutan berdasarkan bukti-bukti yang ada.

Beberapa bukti yang dapat digunakan antaranya Surat Tanda Daftar Budidaya, Hak-Hak Adat, Tanda bukti Jual Beli lahan Pekebun dan Tanda Bukti Hak lainnya yang diakui masyarakat hukum adat setempat yang terbit sebelum berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja.

Masalah kedua, tertutupnya peluang bagi para pekebun yang luas lahannya 6-25 hektare untuk memperoleh pelepasan Kawasan hutan. Padahal ketentuan hukum di bidang perkebunan telah memberikan hak bagi petani sawit untuk mengelola lahannya maksimal 25 hektare.

Hal ini terjadi karena rpp tersebut telah mengunci definisi ‘perizinan berusaha’ terbatas pada izin lokasi dan izin usaha di bidang perkebunan. Dalam hal ini petani sawit tentu saja tidak memiliki izin-izin tersebut karena memang tidak diwajibkan oleh undang-undang.

Agar masalah itu bisa selesai, Apkasindo mengusulkan agar rpp tersebut memperluas defenisi ‘perizinan berusaha’, termasuk diantaranya Surat Tanda Daftar Budidaya, Hak-Hak Adat, Tanda bukti Jual Beli lahan Pekebun dan Tanda Bukti Hak lainnya yang diakui masyarakat hukum adat setempat yang terbit sebelum berlakunya UU Ciptaker.

“Sehingga kebun petani masing-masing seluas maksimal 25 hektare dapat mendapatkan pelepasan kawasan hutan,” imbuhnya.

Ketiga, terkait dengan denda administratif yang tak masuk akal bagi petani. Pasalnya, penghitungan denda ditentukan dengan formula keuntungan bersih per tahun dikali luas lahan dikali jangka waktu dikali tarif denda atas penggunaan volume kayu.

“Hal ini keliru karena keuntungan bersih dihitung secara berkelanjutan setiap tahun; denda dihitung secara berlanjut setiap tahun; dan petani tidak menebangi kayu, sehingga keliru jika petani dihukum membayar penggunaan volume kayu,” jelas Gulat.

Karena itu, Apkasindo mengusulkan denda administrasi yang dibebankan kepada petani sawit yang lahannya berada dalam kawasan hutan yang telah melalui proses penetapan maksimal sebesar Rp1 juta per hektare.

Masalah keempat, berkaitan dengan ketentuan peralihan pasal 55 rpp yang melanjutkan proses penyidikan kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan.

Menurut Gulat pasal itu justru bertentangan dengan UU Ciptaker yang dengan tegas menentukan sanksi kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan sebelum UU Ciptaker terbit adalah sanksi administratif, bukan pidana.

“Kami meminta pasal itu dihapus,” tegasnya.

Kelima, diskriminasi terhadap petani sawit terkait kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan lindung yang sudah ditetapkan.

Pasalnya rpp tersebut memberikan perlakuan yang berbeda terhadap perusahaan sawit, dimana, jika lahan perkebunan yang dimiliki perusahaan terindikasi berada dalam hutan lindung/hutan konservasi maka diberikan izin melanjutkan usaha selama 15 tahun.

Sebaliknya, jika lahan perkebunan yang terindikasi tersebut dimiliki oleh petani sawit harus segera dikembalikan kepada negara.

“Apkasindo mengusulkan kegiatan perkebunan petani sawit di dalam kawasan hutan lindung yang sudah ditetapkan diberikan izin melanjutkan usaha selama 15 tahun,” tandasnya.

Sumber :https://www.cnnindonesia.com

Leave a Reply :

* Your email address will not be published.

kaçak bahiscanlı bahiskaçak bahis sitelerijustin tv izlecasinowordpress kurbahis siteleri
%d bloggers like this: