Posts

Usulan Tarif PNBP Kawasan Hutan Bebani Petani Sawit

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajukan usulan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Penggunaan dan Pelepasan Kawasan Hutan. Draf tarif ini diterbitkan melalui surat Nomor S-509/2021 berkop Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan pada 13 Juli 2021.

Beredar di media sosial, usulan Tarif PNBP untuk Penggunaan Kawasan Hutan Dan Pelepasan Kawasan Hutan  yang akan diajukan kepada Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan. Naskah akademis Tarif PNBP ini disusun oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim Kementerian LHK.

Dalam surat tersebut bagi penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit beserta sarana prasarana penunjangnya dan area pengembangan dan/atau area penyangga sebesar Rp 4,35 juta per hektare per tahun.

Sementara itu, besaran  tarif PNBP pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit sesuai UUCK Pasal 110A sebesar Rp13.449.640/ha.

Ketua Umum DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), Dr. Ir. Gulat Manurung, MP.,C.APO memberikan tanggapan perihal Surat tarif PNBP tersebut. Ketika  terbitnya UUCK tersebut maka petani sawit mendukung proses penggodokan dan pengesahan UUCK pada 2020.

“Padahaal saat itu, kami petani sawit ditertawai banyak orang, namun kami membusungkan dada sambil mengepal tangan pertanda tangguh dan setara ketika itu,” kenang pria dipanggil Bang GM ini.

“Tapi yang terjadi setelah beredarnya di medsos surat tarif PNBP Kehutanan tersebut, kami kembali ditertawain. Namun kali ini kami sedih karena kami beban tarif dinilai petani terlampau berat. Kami petani sawit ini serba keterbatasan, jangan disamakan dengan korporasi,” ujar Bang GM.

Diakuinya untuk memahami Pasal 110A dan 110B UUCK dan turunannya saja petani sudah kebingungan, apalagi dengan tarif PNBP ini. “Ini baru taraf memahami lho, belum pada taraf sanggup atau tidaknya,” ungkap GM.

Gulat meminta tarif PNBP Kehutanan ini perlu ditinjau ulang. Dikaji lagi apa dasar dan variabelnya. Untuk itu APKASINDO segera berkirim surat ke Menteri Keuangan dan Menteri LHK untuk mengetahui dasar penetapan besaran tarif PNBP ini. 

“Ya kami akan mengedepankan komunikasi dulu, sebagaimana seperti pembahasan PP dan Permen LHK Turunan UUCK dulu. Sementara itu, demo adalah pilihan terakhir,” ujar GM.

Dari laporan yang diterima Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau ini, sebenarnya  semangat dan harapan petani sawit mulai surut setelah beredarnya tarif PNBP yang diterbitkan KLHK Nomor S-509/2021 tersebut.

”Sontak semua petani sawit terkejut, menimbulkan kecemasan dan kegaduhan dikalangan petani sawit, terkhusus Petani yang masih terjebak dengan nama kawasan hutan,” ungkap GM.

 “Saat membaca surat tarif PNBP Kehutanan ini pikiran saya entah melayang kemana, langsung turun imun kami petani sawit. Namun saya yakin Pak Jokowi dan Pak Maaruf Amin sebagai Presiden dan Wapres belum mengetahui tarif PNBP Kehutanan tersebut. Pak Jokowi dan Pak Ma’ruf Amin pasti akan berlaku adil perihal draf tarif PNBP tersebut,” urai Bang GM dengan yakin.

Gulat menguraikan areal perkebunan kelapa sawit Indonesia menurut Menteri Pertanian (2019) adalah seluas 16.381.957 hektar dan yang terindikasi dalam kawasan hutan luasnya 3,4 juta hektare (20,75%) dimana 2,6 juta hektare di antaranya tanpa izin.

Gulat meminta tarif PNBP Kehutanan ini perlu ditinjau ulang. Dikaji lagi apa dasar dan variabelnya. Untuk itu APKASINDO segera berkirim surat ke Menteri Keuangan dan Menteri LHK untuk mengetahui dasar penetapan besaran tarif PNBP ini. 

“Ya kami akan mengedepankan komunikasi dulu, sebagaimana seperti pembahasan PP dan Permen LHK Turunan UUCK dulu. Sementara itu, demo adalah pilihan terakhir,” ujar GM.

Dari laporan yang diterima Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau ini, sebenarnya  semangat dan harapan petani sawit mulai surut setelah beredarnya tarif PNBP yang diterbitkan KLHK Nomor S-509/2021 tersebut.

”Sontak semua petani sawit terkejut, menimbulkan kecemasan dan kegaduhan dikalangan petani sawit, terkhusus Petani yang masih terjebak dengan nama kawasan hutan,” ungkap GM.

 “Saat membaca surat tarif PNBP Kehutanan ini pikiran saya entah melayang kemana, langsung turun imun kami petani sawit. Namun saya yakin Pak Jokowi dan Pak Maaruf Amin sebagai Presiden dan Wapres belum mengetahui tarif PNBP Kehutanan tersebut. Pak Jokowi dan Pak Ma’ruf Amin pasti akan berlaku adil perihal draf tarif PNBP tersebut,” urai Bang GM dengan yakin.

Gulat menguraikan areal perkebunan kelapa sawit Indonesia menurut Menteri Pertanian (2019) adalah seluas 16.381.957 hektar dan yang terindikasi dalam kawasan hutan luasnya 3,4 juta hektare (20,75%) dimana 2,6 juta hektare di antaranya tanpa izin.

Sementara itu luasan 2,6 juta hektar identik dengan pekebun (petani), karena memang pekebun tidak wajib memiliki izin sebagaimana korporasi dan menurut data juga diketahui bahwa 68% dari 3,4juta ha tersebut adalah pekebun. Adapun sebaran perkebunan sawit dalam kawasan hutan tersebut antara lain di hutan konservasi (HK) luasnya 97.913 hektar (3%), di hutan lindung (HL) luasnya 155.119 hektar (4%), dihutan produksi tetap (HPTT) seluas 501.572 hektar (44%), di hutan produksi terbatas (HPTB) seluas 1.497.421 hektar (15%) dan di hutan produksi konversi (HPK) seluas 1.127.428 hektar (34%), dari data ini dominasi sawit itu berada di Kawasan Hutan Produksi (93%), kecil sekali dikawasan hutan Lindung dan konservasi.

Dandan Ardi, Sekretaris DPW APKASINDO Kalimantan Tengah, ketika dihubungi, mengatakan tidak habis pikir membaca tarif PNBP Kehutanan tersebut, ini keterlaluan.  Bagaimana mungkin kami petani bisa membayar tarif PNBP yang sebegitu besar, per tahun pulak, sama saja ingin mematikan kami petani sawit yang terjebak dalam kawasan hutan. Kami juga sebagai petani tidak ingin berkebun dalam Kawasan hutan, tapi tidak tahu batas hutan dan bukan hutan.

“Toh juga kami ketika menanam sawit tidak ada menumbang tanaman hutan, sebab saat kami menanam sawit di lahan tersebut sudah tidak berhutan. Harusnya orang Kehutanan itu yang dihukum karena lalai melaksanakan tugasnya jangan malah kami petani yang di denda dan juga di kenakan PNBP,” ujar Dandan dengan logat Dayak.

Demikian juga dengan Sofyan Abdullah, Ketua APKASINDO Aceh dan Dorteus Paiki dari Papua Barat, mengatakan bahwa petani sawit itu pahlawan dan sudah berperang untuk negara dengan berkebun sawit sebagai penyelamat ekonomi Indonesia, terkhusus disaat pandemi covid ini.

“Kalau dihitung tarif PNBP tersebut, saya pastikan sampai kapanpun kami tidak akan mampu membayarnya, jangankan 4 juta, 500 ribu rupiah per hektar per tahun pun belum tentu kami punya uang untuk itu, belum lagi denda administrasi dan PSDH-DR sebagaimana Pasal 110A dan 110B UUCK,” urai mereka berdua.

Bang GM melihat bahwa usulan tarif PNBP ini sangat berpotensi menggagalkan program strategis Presiden. Antara lain Program PSR (Peremajaan Sawit Rakyat) karena 84% petani gagal (ditolak) usul PSR karena diklaim dalam kawasan hutan. Sebagai informasi syarat PSR status kebun bukan kawasan hutan. Demikian juga Ketahanan Energi dan Program Biodiesel melalui Program Stranas EBT (Energi Baru Terbarukan), karena petani sawit akan terhenti produksi TBS karena aspek legalitas yang akan tegas di tahun 2025 sebagai implementasi Perpres 44 wajib ISPO bagi pekebun (RAN).

Selain itu juga, petani sudah berkontribusi bagi devisa ekspor kelapa sawit yang mencapai US$25,6 miliar pada 2020. Ini belum termasuk potongan dari pungutan ekspor sawit dan produk turunannya setiap bulan yang dikelola BPDPKS.

“Ya memang demikian, karena jika tidak membayar denda sebagaimana tertuang di Pasal 110A dan 110B (tipologi 1 dan tipologi 2) maka legalitas lahan petani tetap akan disebut illegal. Tentu hal ini akan menjadi ancaman bagi kami petani sawit, apalagi muncul tarif PNBP ini,” kata Gulat khawatir.

Sebagai contoh, jika Petani A masuk tipologi 1 yang dikenakan adalah Pasal 110A yaitu hanya dikenakan denda PSDH-DR dan pasangannya di Tarif PNBP ini adalah Tabel C (Poin B di Tabel Tarif PNBP Kehutanan) dengan tarif Rp.13.449.640/ha, jadi tarif ini hanya sekali bayar karena lahan si Petani A langsung pelepasan kawasan. Tapi jika si Petani B tersebut masuk ke Tipologi 2 (Pasal 110B) maka selain membayar denda PSDH-DR, juga membayar denda administrasi (Denda = luas kebun x Masa Usia TM x Tarif Denda).

Setelah denda ini dibayar si Petani B, maka lanjut membayar Tarif PNBP yaitu Rp.4.350.000/tahun (Tabel A Tarif PNBP). Kenapa si Petani A dan si Petani B berbeda tarif PNBP nya ? jawabannya karena beda Resolusi penyelesaian keterlanjuran sawit dalam Kawasan hutan (Tipologi).

“Jadi di UUCK dan Turunannya tersebut ada 4 Tipologi Resolusinya dan masing-masingnya membedakan tipologi permasalahan sawitnya yang terjebak dalam Kawasan hutan. Jadi ini patokan penetapan tarif PNBP itulah pemahaman saya pribadi,” jelas Bang GM.

Jadi untuk Tarif PNBP si Petani B ini ibaratnya STNK lah, membayar PNBP setiap tahun sebesar Rp.4,350 juta, yang terhitung setelah Pasal 110B tadi dibayar si Petani B tersebut. Jadi kalau sisa usia produktifnya 10 tahun lagi maka selama itulah membayar STNK per tahun.

“Karena di Pasal 110B ini kan tetap kawasan hutan (tidak dilepas) hanya dikasih pinjam selama satu daur. Ya kira-kira uang sewa kontrakanlah mungkin menurut Ibu Menteri Kehutanan dan Ibu Menteri Keuangan”, ujar GM sambil tertawa.

Terkait PSR, jika katakan saja Petani B memiliki kebun 8 ha dalam Kawasan hutan. Lalu mengusulkan ikut program PSR 4 ha nya (karena sawitnya sudah berumur 28 tahun), maka Petani B akan terlebih dahulu membebaskan klaim dari Kawasan hutan dengan membayar denda sebagaimana dalam Pasal 110B dan selanjutnya membayar tarif PNBP tersebut Rp.4.350.000/ha/tahun (dihitung kedepannya dan tidak berlaku surut).

Pengali Pasal 110B nya adalah 1 ha x Rp.1,5juta (asumsi keuntungan Petani B per ha/tahun) x 20 tahun (masa tanaman menghasilkan) = Rp.30juta x 4ha calon lahan PSR si Petani B (Rp120juta). Sementara jika 4 ha ikut PSR maka dana yang diterima Petani B dari BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) adalah Rp.30jt x 4 ha = Rp.120juta.

Gulat berpendapat dari kalkulasi tadi bisa disebut impas namanya. Tapi  ini  belum lagi dengan “sewa tanah” (PNBP) Rp. 4,350juta/ha/tahun tadi.

“Masa petani kampung ini disamakan dengan korporasi yang full manajemen, atau jangan-jangan juga sama-sama berkeberatan. Perlu juga dicatat bahwa asumsi keuntungan 20% yang 1,5juta/tahun tersebut jika harga TBS Rp.3.500/kg,” urai Bang GM.

Namun untuk lebih memastikannya, kami akan membahas draft tarif PNBP ini, kami DPP APKASINDO segera mengundang Pakar-Pakar PNBP dan Kebijakan Kehutanan untuk kami mintai pendapat, biasanya kalau kami Petani yang bermohon ke pakar-pakar dengan senang hati dilayani, ini karena mereka tahu kami adalah petani yang sudah berjasa untuk negara dan lingkungan hidup. Hasil dengar pendapat (diskusi) ini akan kami ramu dalam bentuk surat yang kami tujukan ke Kementerian Keuangan dan KLHK.

Namun yang pasti, kalau Tarif PNBP ini dipaksakan maka kami petani sawit menyerah sajalah, kami petani sawit sudah capek bersoal terus dengan kawasan hutan, sementara “Bapak kami” Kementerian Pertanian tidak bisa berbuat banyak menolong kami. Entah mungkin sudah dianggap sawit itu tanaman kehutanan,” tutup GM.

Sumber : sawitindonesia.com

Leave a Reply :

* Your email address will not be published.

kaçak bahiscanlı bahiskaçak bahis sitelerijustin tv izlecasinowordpress kurbahis siteleri
%d bloggers like this: