Posts

Sawit Dituding Tidak Sejahterakan Petani, APKASINDO Protes Pernyataan Wakil Ketua KPPU

Pernyataan Guntur Saragih, Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), menimbulkan polemik di kalangan petani sawit. Ia mengatakan kelapa sawit merupakan komoditas utama  terutama dalam kondisi krisis sekarag. Namun, sektor kelapa sawit ini belum mampu sejahterakan petani.

“Tapi kita melihat gurihnya harga kelapa sawit tidak seiring dengan kesejahteraan petani rakyat,” ujar Guntur saat membuka webinar bertemakan Persaingan Usaha dan Kemitraan dalam Industri Kelapa Sawit yang diselenggarakan Kamis (27 Mei 2021).

Pernyataan Guntur Saragih ini diprotes oleh petani sawit. Sebab, pernyataan ini tidak didukung data yang akurat dan kredibel. Dr (cn) Ir. Gulat ME Manurung, MP.,C.APO, Ketua Umum DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), menyayangkan pernyataan Guntur Syahputra Saragih yang dimuat di salah satu media online nasional. Sebagai wadah asosiasi petani sawit di 22 provinsi, ia meminta tidak Guntur tidak menggeneralisir petani sawit.

“APKASINDO berharap jika (Guntur) tidak punya data otentik. Sebaiknya tidak usah membuat statemen. Jelas, kami petani tersinggung dengan kegaduhan ini. Sumber datanya kami tidak tahu darimana. Apalagi sekelas Wakil Ketua KPPU haruslah berbicara harus pakai data dan terinci,” keluh Gulat.

Ia menjelaskan tipologi petani itu harus dilihat secara utuh. Ada tiga tipologi petani sawit dari aspek pekerjaaan. Pertama, tipologi petani pemilik dan dikerjakan langsung. Kedua, petani pemilik sebagian pekerjaan sawitnya dikerjakan oleh orang lain. Tipologi ketiga, petani pemilik tapi dikerjakan oleh orang lain dari proses perawatan sampai panen – istilahnya petani tidur.

“Kebetulan saya sedang meneliti hubungan diantara tiga tipologi petani ini terhadap pendapatan petani. Datanya bersumber dari sembilan kabupaten/kota dari 12 Kabupaten Kota di Riau. Riau sebagai provinsi terluas kelapa sawitnya sekitar 4,127 juta ha sangat mewakili,” bebernya.

Dari tiga tipologi petani tadi, diperoleh data pendapatan. Petani yang menjadi responden dengan kepemilikan lahan 4,18 ha/KK dan produktivitas lahan 1,38 ton TBS/bulan. Mereka akan  menghasilkan pendapatan Rp 4.650.000 per bulan atau setara Rp 1,1juta/ha/bulan bagi petani tipologi  pertama. Lalu petani tipologi kedua, pendapatannya sebesar Rp 3.550.000 atau sekira Rp 850ribu/ha/bulan. Terakhir petani tipologi ketiga memperoleh pendapatan sebesar Rp 2.750.000 atau sekira Rp 650.000/ha/bulan.

Gulat menyatakan dengan asumsi petani tidur yang masuk kategori ketiga tadi akan memperoleh penghasilan Rp 2,75 juta per bulan. Dengan menjadi petani  tidur tadi, petani dapat penghasilan di atas Upah Minimum Provinsi Kota Pekanbaru yang sebesar Provinsi Riau sebesar Rp 2,557 juta pada 2021.

Tidak hanya bertani sawit, menurut Gulat, sekitar 76% petani punya penghasilan tambahan. Usaha sampingan ini dari kegiatan beternak seperti sapi, kambing, ayam, bebek petelur. Adapula budidaya kegiatan perikanan darat dan tanaman buah-buahan.

Pernyataan Guntur Saragih ini diprotes oleh petani sawit. Sebab, pernyataan ini tidak didukung data yang akurat dan kredibel. Dr (cn) Ir. Gulat ME Manurung, MP.,C.APO, Ketua Umum DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), menyayangkan pernyataan Guntur Syahputra Saragih yang dimuat di salah satu media online nasional. Sebagai wadah asosiasi petani sawit di 22 provinsi, ia meminta tidak Guntur tidak menggeneralisir petani sawit.

“APKASINDO berharap jika (Guntur) tidak punya data otentik. Sebaiknya tidak usah membuat statemen. Jelas, kami petani tersinggung dengan kegaduhan ini. Sumber datanya kami tidak tahu darimana. Apalagi sekelas Wakil Ketua KPPU haruslah berbicara harus pakai data dan terinci,” keluh Gulat.

Ia menjelaskan tipologi petani itu harus dilihat secara utuh. Ada tiga tipologi petani sawit dari aspek pekerjaaan. Pertama, tipologi petani pemilik dan dikerjakan langsung. Kedua, petani pemilik sebagian pekerjaan sawitnya dikerjakan oleh orang lain. Tipologi ketiga, petani pemilik tapi dikerjakan oleh orang lain dari proses perawatan sampai panen – istilahnya petani tidur.

“Kebetulan saya sedang meneliti hubungan diantara tiga tipologi petani ini terhadap pendapatan petani. Datanya bersumber dari sembilan kabupaten/kota dari 12 Kabupaten Kota di Riau. Riau sebagai provinsi terluas kelapa sawitnya sekitar 4,127 juta ha sangat mewakili,” bebernya.

Dari tiga tipologi petani tadi, diperoleh data pendapatan. Petani yang menjadi responden dengan kepemilikan lahan 4,18 ha/KK dan produktivitas lahan 1,38 ton TBS/bulan. Mereka akan  menghasilkan pendapatan Rp 4.650.000 per bulan atau setara Rp 1,1juta/ha/bulan bagi petani tipologi  pertama. Lalu petani tipologi kedua, pendapatannya sebesar Rp 3.550.000 atau sekira Rp 850ribu/ha/bulan. Terakhir petani tipologi ketiga memperoleh pendapatan sebesar Rp 2.750.000 atau sekira Rp 650.000/ha/bulan.

Gulat menyatakan dengan asumsi petani tidur yang masuk kategori ketiga tadi akan memperoleh penghasilan Rp 2,75 juta per bulan. Dengan menjadi petani  tidur tadi, petani dapat penghasilan di atas Upah Minimum Provinsi Kota Pekanbaru yang sebesar Provinsi Riau sebesar Rp 2,557 juta pada 2021.

Tidak hanya bertani sawit, menurut Gulat, sekitar 76% petani punya penghasilan tambahan. Usaha sampingan ini dari kegiatan beternak seperti sapi, kambing, ayam, bebek petelur. Adapula budidaya kegiatan perikanan darat dan tanaman buah-buahan.

“Dari hasil analisa keberlanjutan (sustainability) bahwa dari aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Maka, keberlangsungan usaha perkebunan rakyat ini sudah masuk kategori berkelanjutan,” jelas kandidat Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau ini.

Ia menegaskan petani sawit sudah masuk generasi kedua. Rerata pendidikannya 42% tamat SMA/Sederajat dan 11% lagi lulusan S-1. Itu sebabnya, petani sawit era kekinian berorientasi bisnis dan terukur.

“Lalu bagaimana mungkin jika Wakil Ketua KPPU ini mengeluarkan statement kelapa sawit tidak dirasakan petani sawit rakyat dan tidak mensejahterakan?” tanya Gulat. Menurutnya, banyak juga petani sawit generasi pertama yang mampu membiayai anaknya kuliah sarjana bahkan S-2.

Gulat juga mengkritisi riset Fachru Nofrian mengenai kelapa sawit yang ditampilkan dalam webinar tersebut. Sebagai contoh analisis ketimpangan luasan lahan antara perusahaan dengan petani swadaya dan plasma yang memakai data 2013. Kritik berikutnya ditujukan kepada analisis penyerapan tenaga kerja di sektor kelapa sawit periode 2011-2015. Hingga 2015, tenaga kerja di sektor sawit mencapai 5,5 juta.

“Ada pergeseran dari pemilik kebun menjadi buruh. Dari data Kementerian Pertanian, tenaga kerja di sawit 3,6 juta lalu bertambah menjadi 5,5 juta pada 2015,” urai Fachru.

Pernyataan Fachru Novian ini dibantah Gulat Manurung. Ia mengatakan dari hasil penelitian 9 Kabupaten/Kota tadi  terjadi penambahan tenaga kerja signifikan di sektor perkebunan sawit. Ada migrasi tenaga kerja dari kota ke perkebunan sawit. Sekitar 86%  tenaga kerja dari wilayah perkotaan yang terkena PHK dan imbas lesunya ekonomi akibat Covid-19.

Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) juga memiliki riset yang menunjukkan perkebunan kelapa sawit  membangun daerah miskin dan terbelakang untuk menjadi sentra perekonomian baru. Sentra ekonomi baru ini tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi, Papua dan Papua Barat.

Dari aspek ekonomi, terjadi nilai transaksi antara masyarakat kebun sawit dengan ekonomi di pedesaan dan perkotaan. Nilai transaksi masyarakat kebun sawit dengan masyarakat perkotaan sebesar Rp 202,1 triliun/tahun dan masyarakat kebun sawit dengan ekonomi pedesaaan sebesar Rp 59,8 triliun/tahun.

Sumber : Sawitindonesia.com

Leave a Reply :

* Your email address will not be published.

kaçak bahiscanlı bahiskaçak bahis sitelerijustin tv izlecasinowordpress kurbahis siteleri
%d bloggers like this: