
Sawit di Swiss, Setelah 51,6%
Referendum rakyat Swiss pada 7 Maret 2021 lalu telah memutuskan 51,6% menyatakan “ya” atas kesepakatan kerjasama ekonomi komprehensif antara Swiss dan Indonesia.
Kerjasama itu bagian dari Indonesia EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA). European Free Trade Association (EFTA) sendiri terdiri dari; Swiss, Norwegia, Islandia, dan Liechtenstein.
Setelah rasa syukur atas hasil referendum yang melegakan itu, kini saatnya lebih dalam mencerna dan memahami apa arti “kemenangan” 51,6% itu dan ‘what next’ setelah menang.
Tanpa mengurangi apresiasi atas keberhasilan tim diplomasi ekonomi yang sudah bekerja keras, dan makna kemenangannya, harus diakui bahwa ‘kemenangan 51,6%’ bukanlah kemenangan yang sangat besar meski sekitar 74?ri Canton — negara bagian — yang ada di Swiss, pemilih “ya” menang, atas pemilih “tidak”.
Karena jumlah yang mengatakan “tidak” cukup banyak dan signifikan, tentu jumlah ini tidak bisa diabaikan begitu saja.
Perlu benar-benar dipahami bahwa mereka yang mengatakan “ya” maka pilihan “ya” itu utamanya adalah untuk perdagangan bebas (free trade) antara Swiss dan Indonesia.
Sebaliknya yang mengatakan “tidak” maka sikap “tidak’nya nampak fokus pada isu sawit dan dugaan permasalahan lingkungan, ‘un-sustainability’, deforestasi dan bahkan tuduhan permasalahan hak azasi manusia.
Perdagangan sawit memang merupakan inti dari perdebatan yang membuat persetujuan IE-CEPA di Swiss harus menggunakan referendum.
Perdebatan yang tercermin dalam proses referendum kali ini bisa jadi akan terus bergaung dalam berbagai proses politik di masa yang akan datang, misalnya dalam Pemilu.
Bisa jadi sebagian besar dari yang mengatakan “tidak” sebenarnya adalah juga pendukung perdagangan bebas dan seharusnya akan mengatakan “ya”.
Hanya saja isu lingkungan dan hak azasi manusia pada sawit Indonesia membuat mereka merubah suaranya menjadi “tidak”.
Akibatnya, setelah hasil referendum diperoleh, berbagai pihak di Swiss — termasuk Presiden Swiss yang juga merangkap sebagai Menteri Perdagangan — bergegas membuat pernyataan bahwa demokrasi telah berjalan dan IE-CEPA dapat dilaksanakan tapi aspirasi para penentang IE-CEPA akan sangat diperhatikan.
Pernyataan itu diikuti oleh pernyataan lain bahwa untuk dapat menikmati ‘duty-free’ dan ‘tariff reduction’, produk sawit yang diperdagangkan ke Swiss harus memenuhi persyaratan keberlanjutan dan standard tertentu terkait isu hak azasi manusia.
‘Syarat’ ini tentu harus menjadi perhatian bersama. Secara teknis, persyaratan di atas bisa dipenuhi dengan sistem sertifikasi tertentu dan kita berharap sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) bisa diterima.
Namun hal ini masih perlu dilihat apakah memang demikian adanya, dan apakah hal itu bisa dituangkan dalam kesepakatan tindak lanjut dari ratifikasi IE-CEPA nanti.
Soalnya sertifikasi khusus untuk sawit yang sudah lebih popular dan diterima di Eropa adalah sertifikasi Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO).
Sementara untuk keberlanjutan pada umumnya dan HAM, EU mengenal lebih banyak sertifikat lain.
Mendapatkan kesepakatan mengenai ‘bagaimana menentukan bahwa produk sawit sudah memenuhi persyarakatan’ adalah objek pembahasan yang penting.
Lantas, situasi yang kurang ‘fair’ bahwa sertifikasi keberlanjutan itu tidak banyak dipermasalahkan pada produk minyak nabati lain selain sawit, harus terus juga disuarakan dengan lantang.
Sesungguhnya, perdagangan sawit Indonesia dengan Swiss sebenarnya relatif kecil, tidak sampai 0,01?ri total impor Swiss dari Indonesia tahun 2019.
Secara wilayah, luas Swiss hanya sekitar 41 ribu km2, sedikit lebih kecil dari luas Propinsi Jawa Timur yang sekitar 48 ribu km2.
Tapi penduduk Jatim hampir 40 juta orang sementara penduduk Swiss hanya sekitar 8,5 juta. Dari perbandingan ini bisa dimengerti bahwa konsumsi Swiss atas minyak sawit memang tidak besar.
Pertanyaannya, apakah berbagai usaha yang dilakukan (baca: biaya yang harus dikeluarkan) untuk mendapatkan keberterimaan atas keberlanjutan sawit Indonesia secara ekonomi akan terbayarkan?
Jawabannya: ya. Pertama, karena kita sendiri memang ingin sawit kita berkelanjutan, jadi bukan karena Swiss nya.
Kedua, kesepakatan dagang dengan Swiss itu bisa dimanfaatkan dan dikelola secara optimal, antara lain Swiss bisa menjadi pintu masuk untuk negara lain meskipun memilih Norwegia yang memiliki pelabuhan-pelabuhan besar sebagai pintu masuk akan lebih logis.
Hanya saja hal itu tidak harus menutup kemungkinan juga untuk menjadikan Swiss sebagai titik distribusi di Eropa.
Ketiga, sebagaimana diketahui, Swiss, Norwegia dan Islandia adalah ‘pendekar-pendekar lingkungan’ yang kuat di Eropa.
Jika mereka telah menerima perdagangan bebas dengan Indonesia – yang didalamnya termasuk perdagangan sawit – maka hal ini merupakan pengakuan tersendiri atas kemampuan Indonesia menghasilkan produk yang berkelanjutan.
Kesepakatan IE-CEPA dapat menjadi materi yang sangat berharga dalam diplomasi ekonomi dan promosi ‘branding’ Indonesia.
Keempat, kerjasama dengan Swiss juga dapat dilakukan dengan pendekatan lain, investasi misalnya.
Kabarnya sudah ada sekitar US$900 juta pendanaan dari Swiss yang sudah mengalir untuk membiayai kegiatan usaha di Indonesia, termasuk sawit.
Jumlah ini memang belum terlalu besar, tetapi dapat menjadi titik awal pengembangan kerjasama lebih lanjut.
Tampaknya ketika diplomasi dilaksanakan sampai pada titik keberhasilan tertentu, maka pekerjaan memang seperti belum selesai, karena akan terbuka peluang – dan tantangan – kebutuhan diplomasi berikutnya.
Salut kepada ‘perjuangan berkelanjutan’ yang tak kenal lelah dari para diplomat ekonomi kita. Semoga semakin membawa kesejahteraan bagi semua.
Sumber : Elaeis.co