Posts

Rekor, Sejarah Harga TBS Petani Pasca-Serapan CPO Domestik Semakin Membaik

Pada 20 tahun terakhir (1980-2019 akhir) petani sawit hanya nompang bengkak dalam percaturan harga TBS (Tanda Buah Segar). Namun sejak berdirinya BPDPKS (Badan Pengelola dana Perkebunan Kelapa Sawit) melalui Inpres Nomor 61 Tahun 2015, kondisi harga TBS semakin membaik dan terjaga.

BPDPKS ini berfungsi melakukan Pungutan Eksport CPO atau Levy dan dana ini akan dimanfaatkan untuk tujuan (1) pengembangan SDM Pekebun, (2) Riset, pengembangan perkebunan kelapa sawit, dan hilirisasi, (3) promosi perkebunan kelapa sawit, (4) Peremajaan sawit rakyat (PSR), (5) sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit.

Jadi jangan salah bahwa Pungutan Eksport (PE) ini bukan Pajak dan tidak masuk ke APBN atau APBD, jadi beda dengan Bea Keluar (BK) yang peruntukannya adalah pendapatan negara, ujar Dr (c) Ir. Gulat Manurung, MP.,C.APO, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO).

Konsep yang ditaja dalam konsep menjaga harga TBS ini adalah Serapan CPO Domestik harus ditingkatkan. Gulat menguraikan perjalanan Panjang menuju strategi konsep serapan domestic CPO tersebut. 

Program pencampuran CPO ke BBM jenis solar sudah dicanangkan sejak 2008 melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 32/2008, dengan target B10 pada 2015, namun perjalannya tidak cukup memberi hasil yang memuaskan dalam konteks menjaga harga CPO Indonesia dan TBS Petani.

Guna meningkatkan porsi CPO dalam BBM solar, Peraturan Menteri ESDM Nomor 32/2008 kemudian dikoreksi oleh Peraturan Menteri ESDM Nomor 25/2013, sehingga implementasi B20 ditargetkan tercapai pada 2016. Setelah menunjukkan respon positif pada level B20, maka pemerintah Kembali melauncing B30, melalui  revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 12/2015 dengan target Mandatori B30 pada 2020 untuk sektor-sektor transportasi PSO dan non PSO, serta industri dan komersial.

Untuk pelaksanaan program B30 pada tahun 2020 yang lalu, pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 227 K/10/MEM/2019 Tentang Uji Coba Pencampuran BBN Biodiesel 30 persen (B30) ke dalam Solar, yang ditandatangani Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 15 November 2019, dan uji coba ini berjalan sukses.

Setelah sukses dari berbagai kajian, maka secara resmi tanggal 23 Desember 2019 Presiden Jokowi me-launching Program Mandatori B30 (campuran biodiesel 30% dan 70% BBM jenis solar), dan per 1 Januari 2020 efektif berlaku di seluruh SPBU Indonesia.  Program Mandatori B30 inilah yang menjadi titik nol sejarah mengapa harga TBS Petani sangat terjaga dan Indonesia pun tercatat sebagai negara pertama di dunia yang mengimplementasikan B30, dan dunia saat itu terpesona karena double effeck, pertama serapan Domestik meningkat signifikan dan kedua mengurangi import Solar sebesar bauran tersebut. 

Setelah diluncurkannya B30 ini, per Februari 2020 badai Virus Covid-19 melanda dunia. Pesisme Ketika itu muncul bahwa B30 akan gagal total. Namun asumsi-asumsi ini semua terbantahkan karena justru harga CPO dunia malah menjadi melambung tinggi (pemanfaatan sawit untuk oleokima terkhusus untuk industry sanitasi) dan pungutan eksport (PE) dan Bea Keluar (BK) pun bergerak secara progresif sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), maka disematkanlah sawit sebagai salah satu lokomotif ekonomi Indonesia dimasa pandemic Covid-19.

Ada beberapa faktor mengapa harga CPO dunia naik signifikan disaat yang bersamaan ekonomi dunia melemah seiring badai Covid-19. Yang pertama adalah tingginya serapan CPO Domestik dengan B30 yang mencapai 7,226 juta ton CPO (2020), hal ini mengakibatkan kelangkaan CPO Dunia, ya berlakukah teori ekonomi. Kedua adalah bahwa dunia tidak bisa lepas dari ketergantungan CPO Indonesia, meskipun banyak negara sebagai penghasil minyak nabati dari tanaman selain sawit, namun efisiensi ekonomisnya 9,8 kali lebih mahal diibanding sawit (jika ditinjau dari penggunaan lahan), ibaratnya jika goreng pisang dipakai dengan minyak goreng sun flower maka harga goreng pisang bisa mencapai Rp 42ribu jika di rupiahkan.

Ketiga adalah bahwa faktanya tanki penimbunan CPO di negara-negara importir CPO Indonesia hanya terisi 30-60% dari total kapasitas normalnya karena terjadi kelangkaan CPO dunia. Dengan demikian permintaan CPO akan terus melaju. Kempat adalah bahwa terjadi penurunan aktivitas budidaya tanaman penghasil minyak nabati di Eropa dan negara penghasil minyak nabati lainnya (selain sawit), penurunan ini cenderung diakibatkan dampak pandemic covid-19, sementara aktivitas agronomi dan agroindustry kelapa sawit sama sekali tidak terganggu (hasil survey APKASINDO di 22 Provinsi, 2020).

Kelima adalah terbongkarnya rahasia negara-negara pengimport CPO Indonesia bahwa tujuan mereka mengimport CPO bukan hanya untuk kebutuhan konsumsi (yang selama ini digaungkan seperti itu), tetapi juga untuk kebutuhan biodiesel, bahan bakar lainnya dan resell (menjual kembali).

Kelima faktor inilah mengapa harga CPO meningkat derastis, sesungguhnya tanpa kejadian Pandemi Covid-19 pun harga CPO akan semakin naik, kata kuncinya adalah serapan domestic CPO Indonesia melalui Program Biodisel.

Menurut data GAPKI, bahwa produksi CPO Indonesia 2021 ini akan berada pada kisaran 53,932 juta ton CPO, atau tumbuh 4,27% dibanding tahun 2020 (51,627juta ton). Persentase serapan dalam negeri (domestic) tahun 2021 adalah diprediksi 33,04% (18,504 juta ton CPO) dan tujuan eksport adalah 66,95% (37,01 juta ton CPO).

Struktur pemanfaatan CPO Indonesia untuk kebutuhan domestik ini antara lain kebutuhan pangan 47,02%, kebutuhan industry oleokimia 9,73%, dan Campuran Solar (B30) sebesar 43,26%. Coba kita bayangkan jika tanpa B30 di tahun 2021 ini, berarti dari total produksi CPO Indonesia yang untuk serapan domestic hanya 19,46%, sisanya 80,53% adalah eksport, maka CPO Indonesia akan goyang dan Petani Sawit hanya nompang bengkak saja.

Faktanya, bahwa sebelum diberlakukannya B30, harga TBS Petani jika kita ambil tahun 2017, 2018, 2019 hanya pada kisaran Rp. 700-1200/kg TBS, tetapi setelah diberlakukannya B30 yang di support oleh dana BPDPKS terhitung mulai Januari 2020, harga TBS Petani berada pada level Rp.1.800-Rp.2550, dan sejak Indonesia merdeka tidak pernah terjadi harga TBS malah naik menjelang hari lebaran (atau hari besar lainnya seperti 17 Agustus) biasanya akan jatuh 30-40%, saat ini jutru naik 12-15% dari rata-rata harga periode bulan April 2021. 

Dengan data ini maka dipastikan di tahun 2021 harga CPO akan tetap terjaga seiring dengan meningkatnya permintaan CPO untuk kebutuhan pangan, oleokimia, B30 dan kebutuhan lainnya di dalam negeri (domestik), jadi tolak ukurnya adalah serapan CPO Domestik.

Petani sawit Indonesia sangat mensyukuri kebijakan Mandatori B30 ini, dan BPDPKS sebagai perpanjangan tangan Kemenkeu dalam mengelola dana PE tersebut harus benar-benar menjalankan 5 fungsi BPDPKS, biar irama dan musiknya sesuai dengan telinga Indonesia, kekurangan dan tidak tercapainya beberapa target adalah tantangan kepada semua pengambil kebijakan di negeri ini, seperti misalnya PSR yang masih pada level 50% dari target 500 rb ha, tentu harus kita runut akar masalahnya, dimana diketahui 84% Petani Calon peserta PSR gagal usul karena kendala diklaim dalam Kawasan hutan, saat ini solusinya sudah ada melalui PP UUCK, clear, seperti itu misalnya merunut dan mencari solusi, bukan malah target PSR yang diturunkan atau dana hibah Rp.30juta/ha ditambah, roh masalahnya bukan disitu, tapi yang gagal usul tadi.

Disinilah rahasia nya mengapa beberapa NGO asing getol memoduskan bahwa PE merugikan dan tidak ada manfaat bagi petani, supaya kebijakan Mandotori B30 ini gagal dan efeknya adalah harga CPO Indonesia akan jatuh, karena roh dari pada serapan domestic tersebut ada di PE dan PE ini dekola oleh BPDPKS dan dana PE ini sebagian dipakai untuk memblending CPO untuk B30. Jika Mandatori B30 di stop maka sawit Indonesia akan menjadi beban negara, karena sawit Indonesia 42% (6,88 juta Ha dari 16,381 juta ha) adalah dikelola Petani dan akan menjadi polemik ekonomi karena 21 juta orang tergantung dengan ekonomi sawit rakyat ini dan CPO Indonesia akan dihargai murah karena stok melimpah, murah sekali menebak modusnya.

Dengan semakin meningkatnya harga CPO Dunia, maka PE juga akan meningkat yang per hari ini PE mencapai 255 USD/ton CPO tujuan eksport dan pundi-pundi negarapun meningkat melalui Bea Keluar sebesar 144 USD/Ton CPO. Jika dihitung total uang yang terkumpul di tahun 2021 dari PE ini mencapai Rp136,265 Triliun dan dari BK sebesar Rp76,950 Triliun, Total PE dan BK ini Rp213,215 Triliun (dengan asumsi 1 USD=Rp14.250).

Memang ada usul dari APKASINDO supaya BK ini di konstankan saja sementara, jangan mengikuti progresif kenaikan harga CPO Dunia, namun itu kembali kepada Kemenko Perekonomian untuk kebaikan sawit dan perekonomian bangsa ini tentunya, karena ekonomi bangsa ini sangat signifikan tertolong oleh industry sawit terkhusus masa-masa sulit saat ini.

Jadi teori yang mengatakan jika PE diturunkan seiring dengan naiknya harga CPO adalah teori modus, kita harus menyadari bahwa PE tersebut sangat dibutuhkan sawit Indonesia dan ini adalah marwah negara ini, terkhusus untuk menjaga harga CPO dunia tetap stabil melalui serapan B30, bahkan naik yang berdampak terhadap harga TBS Petani, mereplanting sawit rakyat untuk tujuan setara nya produksi TBS Petani dengan korporasi, meningkatkan SDM Petani dan anak petani, buruh tani, bantuan sarpras bagi petani sawit, meng ISPO kan sawit Petani, riset, media komunikasi sawit dan diplomasi sawit internasional.

Kesemua faktor-faktor inilah garda terdepan penjaga sawit Indonesia. Jika tidak ada sawit maka habislah hutan di dunia ini, karena faktanya sawit adalah tanaman yang menekan deforestasi karena kebutuhan minyak nabati dunia 58% terpenuhi dari minyak sawit dan sawit 9,8 kali lebih hemat lahan dari tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Sawit Indonesia adalah anugerah Tuhan untuk dunia, kita sebagai bangsa harus bangga dan paduserasi untuk menjaganya. Selamat hari Raya Idul Fitri 1442.

Sumber : wartaekonomi.co.id

Leave a Reply :

* Your email address will not be published.

kaçak bahiscanlı bahiskaçak bahis sitelerijustin tv izlecasinowordpress kurbahis siteleri
%d bloggers like this: