
Petani Usulkan Revisi Formula Harga Beli TBS
Petani sawit terutama swadaya meminta perlakuan adil dalam penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit di seluruh provinsi sentra sawit Indonesia. Walaupun, harga TBS telah memiliki payung hukum peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 01/PERMENTAN/KB.120/1/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Faktanya, tidak semua petani menerima perlakuan sama saat menjual buah ke pabrik.
“Terjadi keanehan dalam penentuan harga TBS bukan button up tapi top down. Artinya harga TBS tidak lagi dihitung sebagai belanja modal untuk menghasilkan satu kilogram TBS petani sebagaimana di harga lelang CPO. Apabila memakai konsep top down ini digunakan maka pabrik akan sesuka hati menetapkan harga TBS. Sudah saatnya tataniaga menjadi perhatian serius semua pihak,” ujar Ir. Gulat ME Manurung, MP.,C.APO, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) saat membuka Dialog bertemakan “Tata Niaga Harga TBS Yang Berkeadilan di Seluruh Indonesia”, Rabu (12 Agustus 2020).
Dialog ini menghadirkan pembicara antara lain Derom Bangun (Ketua Umum DMSI), Dr. Normansyah Syahruddin, Kepala Subdirektorat Pemasaran Hasil Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, Dr. Donald Siahaan (Peneliti PPKS), dan Dikki Akmal (Ketua APCASI).
Gulat menegaskan tata niaga TBS menjadi persoalan utama yang dihadapi petani dan ini sudah berlangsung sejak Petani sawit eksis di perkelapasawitan. Akibat tidak stabilnya harga TBS mengakibatkan petani harus ngos-ngosan memutar ekonomi usahatani kelapa sawitnya. Jika dibuat pengelompokan, harga TBS terbagi menjadi 3 kelompok; pertama, kelompok harga TBS internal group dari PKS tersebut. Kedua, kelompok harga petani plasma. Ketiga adalah kelompok harga Petani Swadaya (Pekebun).
“Walaupun sudah ada Peraturan Menteri Pertanian mengenai tata niaga TBS. Dalam aturan ini tidak ada pengelompokkan harga TBS dari tiga kelompok tadi. Faktanya, petani mendapatkan perlakuan tidak adil,” jelas Gulat.
Sebagai contoh, kata Gulat, petani sawit di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, dimana harga TBS yang diterima Petani di sana sebesar 50% dari rata-rata harga TBS di Sumut dan Riau, padahal TBS itu dimanapun berada selalu menghasilkan CPO, bukan berarti TBS Petani di Sulawesi Barat menghasilkan kerak CPO sehingga sesuka hati menetapkan harga TBS Saudara-saudara kami di Indonesia Timur, ujar Kandidat Doktor Lingkungan ini dengan yakin.
Terkait cangkang, Gulat tidak habis pikir bagaimana mungkin saat ini harga cangkang per kilogram nya sudah hampir menyamain harga TBS per kilo tetapi belum dimasukkan dalam komponen penentuan harga TBS. Kalaupun ada dinas perkebunan provinsi yang memasukkannya seperti di Riau tetapi masih jauh dari sewajarnya yaitu Rp 10 per kilogram. Di saat sama, harga cangkang untuk Riau sudah mencapai Rp 850/kg. “Petani sawit generasi kedua berbeda jauh dari generasi pertama. Kami sudah naik kelas yaitu ingin menjadikan petani sawit Indonesia setara. Ini penuh makna dan perjuangan, tidak ada yang bisa menghalangi kami untuk kesetaraan, merdeka!,” ujar Gulat dengan semangat.
“Indonesia sudah merdeka 75 tahun, kenapa urusan tataniaga TBS tidak pernah selesai. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian harus melihat sangat serius. Jangan memaksa petani sawit wajib ISPO. Tapi keadilan bagi petani hanya janji ke janji saja,” jelasnya.
Berkaitan usulan cangkang sawit dimasukkan dalam komponen harga, menurut Derom, APKASINDO dapat mengajukannya kepada Kementerian Pertanian RI. Kemudian usulan ini dapat diajukan di setiap provinsi sentra sawit supaya cangkang masuk perhitungan harga.
Dr. Normansyah Syahruddin, Kepala Subdirektorat Pemasaran Hasil Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, mengatakan Kementerian sangat terbuka terhadap usulan harga TBS dari petani sawit yang diwakili APKASINDO. Kendati demikian, pemanfaatan sisa cangkang, berhubung belum semua daerah memanfaatkan sisa cangkang sawit tersebut maka perhitungan untuk cangkang sawit diserahkan kepada daerah masing-masing sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan lebih lanjut oleh Gubernur.
Dari pengusaha cangkang sawit yang diwakili Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Cangkang Sawit Indonesia (APCASI) juga sepakat dengan usulan komponen cangkang dimasukkan dalam perhitungan harga TBS. Dikki Akmal, Ketua Umum APCASI, mengakui tingginya permintaan cangkang mendorong kenaikan harga jual cangkang sawit di tingkat pabrik. Pasalnya, harga jual cangkang di Sumatera saja antara Rp 800 ribu/ton sampai Rp 1.000.000/ton, naik sangat tinggi daripada beberapa tahun lalu di kisaran Rp 500 ribu/ton sampai Rp 600 ribu/ton belum PPN.
Saat ini, PKS menyukai cangkang dura karena tebal dan berat untuk menghasilkan uang dari berat cangkang yang tidak sedikit. Lain halnya dengan PPKS Medan menawarkan varietas tenera. Dikki menyebutkan cangkang wajar dimasukkan ke dalam harga pembelian TBS sehingga petani memperoleh nilai tambah. Apalagi, ekspor cangkang telah dibebani pungutan ekspor dan pajak oleh pemerintah.
“Saya sangat semangat di acara APKASINDO ini karena judulnya membuat jiwa patriotisme terbakar yaitu harga TBS berkeadilan. Maju terus petani sawit Indonesia, raih mimpimu menuju setara,” ujar Dikki penuh semangat.
Sementara itu, Dr. Donald Siahaan, mengusulkan panduan rendemen umum di provinsi yang up to date diperbaharui setiap 3-5 tahun sesuai perkembangan alam dan manajemen perkebunan (tuntutlah keadilan via regulasi pengaturan harga TBS yang relevan waktu & tempat.
Sumber: https://sawitindonesia.com/