Percepat Capaian Sertifikasi Pengelolaan Sawit Berkelanjutan
Sertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan terus digenjot. Upaya percepatan terus dilakukan terutama untuk mendorong sertifikasi pada kelompok petani sawit. Kendala klasik terkait legalitas lahan pun perlu segera diselesaikan.
Setelah 10 tahun penerapan sertifikasi pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) berjalan di Indonesia, terdapat 755 sertifikat yang telah diterbitkan untuk perkebunan swasta dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dengan luas lahan 5,8 juta hektar dari total 9,6 juta hektar. Namun, sertifikat ISPO yang diterbitkan untuk kelompok petani, koperasi, dan badan usaha milik desa (bumdes) saat ini baru mencapai 20 sertifikat dengan luas lahan 12.600 hektar atau hanya 0,18 persen dari total lahan yang ada.
Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung, di Jakarta, Rabu (22/9/2021), mengatakan, berdasarkan indeks keberlanjutan, perkebunan kelapa sawit dari kelompok petani sudah masuk kategori berkelanjutan pada aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Namun, aspek hukum dan tata kelola lahan masih masuk kategori tidak berkelanjutan.
”Dari empat prinsip ISPO, legalitas kebun dari pekebun swadaya yang menjadi penghambat selama ini. Sebanyak 76,64 persen kebun sawit petani masuk kawasan hutan,” katanya.
Legalitas lahan menjadi syarat untuk bisa mendapatkan sertifikasi ISPO. Lahan yang akan diajukan untuk sertifikasi tidak boleh berada di dalam kawasan hutan. Kondisi ini pula yang turut menghambat proses peremajaan sawit pada petani swadaya atau kebun rakyat.
Dari empat prinsip ISPO, legalitas kebun dari pekebun swadaya yang menjadi penghambat selama ini.
Gulat menuturkan, sebagai solusi percepatan sertifikasi ISPO, kriteria dan identifikasi perlu ditetapkan terlebih dahulu. Adapun kriteria yang ditetapkan adalah petani yang tidak memiliki surat tanda daftar budidaya (STDB) karena sawitnya tidak produktif, memiliki klaim kawasan hutan yang belum sampai tahap penetapan kawasan hutan, kebun telah terbangun sebelum UU Cipta Kerja diterbitkan, luas kebun sekitar 5-25 hektar, serta tidak bertempat tinggal di kawasan atau sekitar kawasan hutan.
Petani dengan kriteria tersebut bisa melakukan proses pengajuan ISPO melalui tahapan yang sudah ditetapkan pemerintah, mulai dari tahap pengajuan, verifikasi, indikator, hingga mekanisme penyelesaian. Jika seluruh tahap tersebut sudah selesai, lahan perkebunan pun sudah bisa dikeluarkan dari kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Setelah itu, lahan bisa dimohonkan untuk mendapatkan penerbitan hak atas tanah sehingga sertifikasi ISPO bisa diproses.
Ketua Umum Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan Achmad Mangga Barani menyatakan, percepatan sertifikasi ISPO mutlak diperlukan. Ini agar tercapai tujuan sertifikasi ISPO sesuai Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.
Tujuan tersebut ialah memastikan dan meningkatkan pengolahan, pengelolaan, dan pengembangan kelapa sawit sesuai prinsip dan kriteria ISPO; meningkatkan keberterimaan dan daya saing hasil perkebunan kelapa sawit Indonesia di pasar nasional dan internasional; serta meningkatkan upaya percepatan penurunan emisi gas rumah kaca.
Mangga Barani menyampaikan, percepatan sertifikasi ISPO bisa dilakukan, antara lain, dengan peningkatan kesadaran, pemahaman, dan komitmen dari pelaku usaha perkebunan sawit. Selain itu, ”Kami pun mendorong agar sekretariat komite ISPO bisa segera dibentuk. Adanya tenaga pendamping pekebun juga perlu ditambah lagi.”
eputi II Bidang Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah menyampaikan, pembentukan Sekretariat Komite ISPO memang akan dibentuk dalam waktu dekat. Pembentukan komite ini sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.
Selain itu, identifikasi pada kebun rakyat juga akan diupayakan agar sertifikasi ISPO bisa segera didapatkan. Dana sarana prasarana pun bisa digunakan untuk memfasilitasi kelompok kebun rakyat.
”ISPO ini amat penting untuk menjaga eksistensi kelapa sawit yang kita miliki dari satu generasi ke generasi berikutnya,” tutur Musdhalifah.
Sumber : kompas.id