
Bu Sri Mulyani, Petani Sawit Sekarang Rajin Belanja. Kok Bisa?
Pungutan ekspor sudah terbukti mendorong industri hilir dan menjaga stabilitas harga sawit baik di level industri dan petani. Namun di sisi berbeda, para eksportir CPO mulai merasakan tertekannya volume ekspor CPO karena beratnya beban Pungutan Eksport (PE) CPO seiring dengan naiknya harga CPO dunia.
Ada pertanyaan menarik dalam 6 bulan terakhir tentang melesatnya harga CPO yang berdampak naiknya harga TBS Petani. Mana tergambarkan lebih dahulu, naiknya harga CPO dunia akibat kebijakan pemerintah dengan PE atau memang karena dunia tak bisa lepas dari minyak sawit ini ? atau memang karena kombinasi keduanya ? atau lebih dominan karena dunia sadar akan begitu bermanfaatnya sawit untuk keberlangsungan hidup manusia dan lingkungan ? atau memang karena kebetulan saingan minyak nabati sawit lagi jatuh lesu produksi disaat yang bersamaan produksi CPO hanya pada level lesu ?
Gulat ME Manurung, Ketua Umum DPP APKASINDO menggambarkan urutannya yakni pertama media dan kampanye sawit perlahan tapi pasti telah meluruskan kampanye negatif sawit. Diikuti dengan kebijakan PE selanjutnya dunia tidak bisa lepas dari kebutuhan sawit yang tidak tergantikan dan terakhir produksi minyak nabati dunia selain minyak sawit sedang jatuh lesu produksi.
“Ya dunia selama ini sudah termakan oleh isu yang dibangun secara massif, terstruktur dan sistematis (MTS) bahwa sawit itu tidak baik, dengan berbagai teori sudut menyudut (politik dagang),” ujarnya.
Nah, bagaimana dengan pungutan ekspor? Perlu dicatat bahwa PE bukanlah pajak namun pungutan yang disumbangkan oleh semua stakeholder sawit (dari Petani sampai ke Eksportir CPO/PPO) untuk disumbangkan dan dipungut serta dikelola oleh BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit). Dana ini dikelompokkan PNBP (pendapatan negara bukan pajak) kalau yang pajak negara dari ekspor CPO/PPO disebut dengan Bea Keluar (BK).
“Ya kalau PE saat ini terasa berat bagi industri hulu. Ada baiknya BK yang saat ini berada di kisaran angka 183 USD/ton CPO harus dikoreksi. Istilahnya berbagi beban. Apkasindo sebelum PMK 191 terbit sudah mengusulkan BK dinolkan atau dibuat flat. Jangan progresif seperti PE. Kami sepakat industri hulu (CO) dan hilirisasi (PPO) harus seimbang dan dijaga sesuai dengan porsinya, tentu harus mengedepankan kepentingan negara di atas segalanya,” ujar Gulat.
“Tapi, jangan karena “hulu” dengan “hilir” saling rebut porsi, eh harga CPO dunia malah jadi melorot, kasihanlah kami petani ini,” ujarnya.
Perlu dicatat, kata Gulat, hampir 68% kebutuhan CPO dunia dipasok Indonesia. Nah karena itu, berapa besar minyak sawit (CPO) yang dipasok Indonesia ke pasar dunia akan menentukan dinamika harga minyak sawit dunia dan minyak nabati dunia.
Dengan pembatasan ekspor ini maka harga CPO dunia akan naik, pembatasan ini dalam bentuk kebijakan PE dan peningkatan konsumsi domestik (dalam negeri) melalui B30 dan PPO. Sebagaimana pidato Presiden Jokowi di HUT PDI-P Januari 2020, itulah yang terjadi saat ini. Presiden mengatakan kita optimalkan konsumsi dalam negeri, kita jangan diatur-atur oleh importir. Terbukti serapan dalam negeri telah berkontribusi menjaga harga CPO dunia. Jangan lagi CPO Indonesia diatur-diatur oleh negera resell (negara pembeli CPO dan menjual kembali).”
Memang PE CPO sangat fantastis. Per hari ini harga CPO sudah diangka Rp 11.115/kg (exclude PPN) berarti PE sebesar 255 USD/Ton CPO dan PE Produk turunannya CPO tentu dibawah PE CPO. Dengan lebih rendahnya PE produk turunan CPO (PPO) ini. Maka, semakin hidup usaha hilirisasi CPO ini di dalam negeri dan ekonomi berputar. Inilah “roh” keinginan Presiden Jokowi pada Pidato tersebut.
Data ini dapat dijadikan gambaran perbandingan eksport CPO berbanding eksport turunannya (PPO) pada empat bulan terakhir di 2021. Januari eksport Crude Oil (CO) sebesar 24% dan Palm Processed Oils (PPO) sebesar 76%, Februari eksport CO 20% dan PPO 80%, Maret eksport CO sebesar 12% dan PPO 88%, bulan April eksport CO 10,6% dan PPO sebesar 89,4%. Angka ini sangat fantastis jika dibanding sebelum diberlakukannya PMK no 191. Ini merupakan konsukuensi dari PMK tentang kebijakan tarif pungutan ekspor sawit Nomor 191/PMK.05/2020 tersebut. Jadi tergantung kita “mau dibawa kemana sawit Indonesia”
Namun bagi beberapa pengusaha yang tidak memiliki pabrik PPO akan menjadi masalah. Karena mereka harus ekspor dalam bentuk crude oil (CPO). Demikian juga PKS yang tidak ada membeli TBS dari luar kebun sendiri seperti dari petani swadaya (Petani Kampong). Karena jika PKS tersebut ada membeli TBS petani maka beban PE dapat dikompensasikan kepada harga beli TBS Petani (sesuai harga kesepakatan dinas perkebunan masing-masing provinsi).
Sebenarnya, petani ini yang paling merasakan dampak pungutan lantaran tidak punya pabrik sawit. Namun, bagi petani tidak menjadi persoalan karena harga TBS meningkat (take and give). Selain itu, dana PE diberikan kembali sebagian kepada petani.
“Ya pungutan eksport ini kami anggap “menabung” secara kolektif di BPDPKS. Karena dana PE itu dirasakan manfaatnya untuk biaya PSR (30jt/ha), sarpras, peningkatan SDM Petani, dan beasiswa anak petani/buruh tani/pemerhati sawit, menyekolahkan Petani untuk belajar ISPO, penguatan kelembagaan Petani, membiayai FGD-FGD Petani dan masih banyak lagi yang lainnya. Belum lagi dari segi manfaat lainnya dalam bingkai NKRI,” jelas Gulat.
Terbitnya PMK 191/2020 di saat harga Minyak Bumi anjlok sampai US$20 /barel. Akibatnya, beban biodiesel menjadi berat sekali. Saat ini harga minyak bumi sudah mulai normal diangka US$ 68,48/barel. Jadi beban selisih dengan CPO sudah mulai mengecil untuk B30.
“Lalu, apakah ada teori yang menjamin 100% jika PE dihapus harga TBS petani kampung seperti sekarang ini?”, tanya Gulat.
Gulat mengatakan pemikiran petani sederhana saja apabila PMK 191/2020 dan mandatori B30 membuat harga TBS bagus seperti sekarang. Maka, petani akan mendukung penuh. Sederhana saja dan nggak ribet-ribet kok. Patokannya adalah sebelum diberlakukan mandatori B30 dan sebelum PMK 191 diberlakukan.
“Coba kita ingat baik-baik, ketika PE dinolkan dan PMK 191 belum terbit. Faktanya harga TBS jatuh di bawah Rp1.200/kg dan saat ini (minggu ke tiga Mei) harga TBS sudah menyentuh Rp. 2.620/Kg TBS, gak perlu repot-repot pakai teori tingkat dewa melihat fenomena ini,” beber kandidat Doktor Lingkungan ini.
Saat ini, petani sawit dan pekerja tani sawit yang jumlahnya hampir 21 juta orang sedang rajin belanja. Terutama dikatakan Gulat belanja sarana produksi (saprodi) akibatnya usaha sarana prasarana berjalan baik.
“Petani rajin turun ke kota, rajin makan di rumah makan, rajin belanja ke pasar swalayan dan sesekali menginap di hotel, belum lagi belanja modal rumah tangga lainnya. Jadi, gak perlu Ibu Sri Mulyani (Menteri Keuangan) nyuruh orang kaya belanjakan uangnya. Kami petani kampung paling rajin belanja sekarang,” urai Gulat sambil tersenyum.
Sumber : Elaeis.co